Aku mengawali pagi dengan takdir. Sebuah kebetulan yang sulit sekali ditentang, bahwasannya tiga alarm yang kupasang tak satupun yang bisa membuatku bangun. Aku terbangun tepat jam 4.35, tepat 5 menit setelah waktu yang kutargetkan.
Pagi itu seharusnya aku sudah berada di Stasiun Kereta Kota Baru, Malang, untuk berangkat ke Surabaya. Aku harus mengurus
visa keberangkatan ke Jepang untuk melanjutkan studiku. Alhamdulillah setelah mengikuti ujian di Okayama University, aku dinyatakan lulus dan diterima. Oktober akan menjadi cerita baru buatku. Setidaknya begitu pikirku.
Tidak semua pikiran kita benar tentang sesuatu. Tentang cerita dan jalan hidup ini. Kurasa ceritaku dimulai bahkan sebelum Oktober, itu adalah hari ini.
Aku curiga, kalau yang dikatakan seorang Pidi Baiq ada benarnya,
“Sesungguhnya masa depan itu tidak ada, nyatanya kita selalu berada di masa sekarang”
Karena terlambat bangun, maka aku berangkat ke stasiun jam 6 pagi, itu kutargetkan agar bisa membeli tiket perjalanan dari Malang jam 7.06 ke Stasiun Gubeng, Surabaya jam 9.40 pagi. Setelah itu aku bisa langsung mengurus visa pelajarku.
Awalnya aku berniat mengambil perjalanan di pagi hari jadinya bisa mendaftar Visa pada jam 8.15. Tapi ternyata aku kesiangan. Untungnya saja perjalanan kereta berikutnya masih memungkinkan untuk dapat mendaftar visa jam 10.00.
Karena memesan tiket pagi itu juga, maka aku dapat tiket berdiri, karena udah terbiasa dengan perjalanan berdiri selama 3 jam, maka aku sih santai aja.
Entah perasaan atau harapan, tapi aku kepikiran untuk bertemu dengan orang yang kukenal. Kukira itu harapan saja, berharap ketemu orang yang kami bisa mengobrol bersama. Tetapi selama perjalanan aku hanya bisa berdiri dan menikmati gagasan-gagasan Stephen Hawking melalui
Black Holes And Baby Universe. Buku yang aku beli beberapa hari lalu di Wilis, toko buku bekas di Malang.
Gagasan-gagasan yang ada dalam buku tersebut memang menakjubkan, beberapa penjelasan Hawking memang mempermudah untuk memahami apa sebenarnya Ruang dan Waktu yang telah dikemukakan Einstein, 1915. Namun di banyak kasus aku tidak begitu memahami beberapa bab, itu karena kajiannya fisika teoritis yang menurutku sangat kompleks dan rumit.
Dibalik kebingunganku akan beberapa penjelasannya, aku memahami bahwa Hawking benar-benar ilmuwan yang punya pengetahuan sangat memadai untuk disebut sebagai Ilmuwan Paling Cemerlang sejak Einstein. Mengagumkan sekali membaca uraiannya tentang teori kuantum yang dipelajari dalam kajian sains yang sangat kecil seperi kuark, elektron, proton dan atom hingga teori ruang dan waktu yang dipelajari dalam kajian sains alam semesta dan jagat raya yang sangat luas.
Ngomong-ngomong, Stephen Hawking menjadi semakin cemerlang ketika ia bertemu Jane dan menikah (bersamaan dengan setelah ia mengidap ALS). Jadi apa aku harus mengikuti jejaknya untuk menikah? Aku tak berani menjawab.
Kalau beberapa hari lalu aku membaca di blog bahwa Einstein juga mengalami masa cemerlang itu hanya setelah ia mengambil Post Doctoral-nya, sedangkan Hawking menjadi semakin mantap sebagai ilmuwan teoritis pada saat setelah menikah, maka keduanya ada pada kisaran usia 23-25 tahun. Artinya karena usiaku kini 23 tahun, ini bisa ku capai juga!
Keduanya juga mengalami hal tersebut secara tiba-tiba, atau revolusioner. Ini seperti ada tombol
switch yang ditekan untuk membuat mereka bersinar. Kalau Einstein mungkin tombol
switch itu pada saat studi Post Doctoralnya, sedangkan Hawking bisa jadi saat menikah. Mungkin saja aku bisa bersinar seperti mereka, bisa jadi kepergianku ke Jepang nanti merupakan momen ketika tombol
switch-ku ditekan, atau mungkin harus menunggu aku menikah dulu? (eww… obsesi jombloo). Tapi tentang nasib, biarlah ruang dan waktu yang menjawab.
Sampai di Surabaya, aku langsung menuju ke Konjen Jepang. Setelah menyapa satpam Konjen yang ternyata masih mengenaliku, bahkan dia kenal secara spesifik (karena sebelumnya kami ngobrol lumayan banyak), akhirnya aku masuk ke bagian pendaftaran visa.
Aku sudah mempersiapkan semuanya. Sehingga semua persyaratan langsung lengkap dan Ok. Setelah mendapatkan nota pengambilan Visa dari loket, aku berbalik dan akan pulang. Tetapi ketika berbalik ada dua orang berjilbab yang salah satu wajahnya kukenali.
Saat itu aku sedikit ragu (aku sering salah orang) tapi saat itu aku langsung panggil aja, kalaupun nanti salah orang, aku kan mau ke Jepang, jauh dari Indonesia, jadi nggak perlu malu ke siapa-siapa, begitu pikirku.
“Mbak Sinta?”
Dia noleh, tentu saja dengan tatapan bingung.
“Ini Mahfuzh Mbak” dengan responnya yang noleh itu, aku mengkonfirmasi kalau nama yang kusebutkan benar, ditambah lagi dia benar-benar tidak mengenaliku, itu lebih memastikan kalau ini Mbak Sinta Yudisia yang terkenal itu.
“Ohh.. Mahfuzh..”
“Iya Mbak yang di blogger FLP juga”
“Wahh.. Ketemu disini.. Nanti kita foto yah..”
Pernah nggak kalian kepikiran gini. Ketemu emm.. .. Sapa ya? Ariel, shh udah nggak terkenal sih.. yang lain, emm.. Jokowi.. Ehh banyak yg benci sih.. Sapa yah? Ketemu ini dehh Sule.. Tuhh.. Kan keren yak? Terus Sule minta foto bareng kamu! Nahh kurang seneng gimana cobak! Yak oke lahh..
Walaupun aku tidak banyak (atau tidak ada yah?:) membaca buku Mbak Sinta tapi belakangan aku baca blog beliau. Sejujurnya kesan pertama ketemu blognya adalah tampilannya menyakiti mata saya. (Hehe sory Mbak Sinta). Aku termasuk yang rewel banget masalah tampilan blog. Aku lebih sering meninggalkan blog sebelum membacanya hanya karena tampilannya menyedihkan. Tetapi karena penulisnya ialah Mbak Sinta yang ketu FLP maka aku baca blognya www.sintayudisia.wordpress.com
Isinya sesuai dugaan “worth to read, worth to share” keren lah.. Asiknya kalau baca blog, itu sering kali lebih jujur tentang kehidupan dan pengalaman pemiliknya. Tidak perlu mendesain yang marketable atau indah banget, cukup tulisan santai yang menyenangkan dan bermanfaat. Jadi isi blog itu menurutku lebih menggambarkan keseharian seorang Sinta Yudisia yang penulis itu. Intinya ini adalah pembenaran karena baca blog Mbak Sinta itu gratisan, tapi bukunya belii.. Dasar otak mahasiswa!
Mbak Sinta sedang
mengurus Visa kunjungan ke Jepang, beliau ada undangan dari pemerintah daerah Karatsu, Fukuoka. Project menulis tentang kisah heroik da’wah dan pembangunan Masjid disana. Keren banget yak? Kapan seorang Mahfuzh tnt akan bersinar seperti itu.. :) #harapan
Setelah selesai urusan di konjen Jepang aku diajak makan-makan. Karena tempatnya agak jauh, Mbak Sinta mengkhawatirkan aku yang jalan kaki. Padahal beneran dehh.. Aku sudah kelilingin komplek perhotelan dan kantor-kantor elite di Gubeng ini setidaknya dua kali. Benar-benar mengelilingi total. Itu saat aku mengurus visa pertama kali (sekitar sebulan yang lalu)
Kami berhenti untuk makan, dan bercerita banyak. Sangat menarik sharing ilmu dengan Mbak Sinta, menyenangkan karena sudah seperti teman akrab, padahal baru sekali ini bertemu.
Aku mengawali tulisan kali ini dengan berbicara tentang takdir. Bagiamana kalau aku tepat waktu? tentu saja tidak akan bertemu Mbak Sinta. Bagaimana kalau Mbak Sinta telat 2 menit saja masuk ke Konjen Jepang? Aku pasti sudah pulang. Mungkin ini yang disebut dengan waktu.
Kalau kata Stephen Hawking (yang dia ambil dari pemikiran Einstein) itulah fenomena ruang-waktu. Ruang tidak akan pernah terpisahkan oleh waktu. Setiap kejadian merupakan titik temu antara waktu dan ruang. Kejadian pertemuanku dengan Mbak Sinta merupakan kombinasi ketepanan waktu ketika aku berada di ruang Konjen dan waktu ketika Mbak Sinta ada di ruang Konjen.
Ketepatan ini mungkin dimata orang lain ialah kebetulan (bahkan banyak orang mengatakan “wahh.. kebetulan”). Padahal menurut Einstein “Tuhan tidak sedang bermain dadu” setiap kejadian memiliki tujuan, sehingga tidak akan ada lagi kalimat “Wahh.. Kebetulan ketemu disini” tetapi lebih kepada “Wahh.. Kehendak tuhan kita bertemu disini”.
Salah satu gagasan Einstein yang ditolak oleh Hawking ialah tentang “Tuhan tidak bermain dadu”. Menurut Hawking, kenyataanya Tuhan tetap bermain dadu (ini karena konsep Hawking tentang ketuhanan ialah sangat terbatas pada model manusia). Tetapi berdasarkan teori kucing hitam fisika yang dikatakan Schrodinger maka peluang untuk bertemunya seseorang di satu ruang dan waktu tertentu ialah satu berbanding tak terhingga.
Tahukah kalian seberapa kecilnya itu? Itu bisa dikatakan tak mungkin. Maka menurutku pendapat Einstein lebih baik dalam menggambarkan hal ini. Kejadian dengan peluang yang sangat kecil itu tak mungkin terjadi hanya atas azas kebetulan, tetapi karena kehendak tuhanlah. Ada energi Mahabesar yang mendukung kejadian tersebut. Itu adalah Tuhan.
Mungkin tulisan ini banyak salahnya, bahkan ngaco-nya. Biarlah begitu, sebagai penanda aku belajar.